Home » » Kisah Dahsyat Perang Uhud

Kisah Dahsyat Perang Uhud

asdasd | 08.44 | 0 komentar
Kisah Dahsyat Perang Uhud









Kisah Dahsyat Perang Uhud

Perang Uhud terus berkobar. Kaum kuffâr Quraisy
seolah mendapatkan semangat baru. Kondisi ini jelas berbeda dengan
kondisi kaum Muslimin, terutama setelah psywar yang dilancarkan kaum Quraisy. Mereka memunculkan berita bohong yaitu Rasûlullâh telah berhasil mereka bunuh, padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.



Psywar ini semakin memperparah dan melucuti semangat
sebagian kaum Muslimin, sehingga sebagian dari mereka melarikan diri,
sementara yang lain terus bertempur sampai akhirnya wafat sebagai
syahîd. Shahabat yang pertama kali melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan masih hidup adalah Ka’ab bin Mâlik Radhiyallahu anhu. Tak terbilang kegembiraan yang dirasakan Ka’ab Radhiyallahu anhu melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan masih hidup.



Saking gembiranya, beliau Radhiyallahu anhu berteriak memberitahukan kondisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup. Beliau Radhiyallahu anhu tidak sadar kalau perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini akan sangat membahayakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena secara tidak langsung dia memberitahukan posisi Rasûlullâh kepada orang-orang musyrik. Menyadari hal ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat kepada Ka’ab Radhiyallahu anhu agar diam, supaya tidak diketahui pasukan Quraisy.[1]



Meski sudah berusaha agar tidak diketahui musuh, namun akhirnya musuh
tahu juga posisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka
tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menumpahkan segala amarah dan
kebenciaan mereka kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Mereka semakin mendekati Rasulullah, kala itu beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda kepada sembilan shahabat (tujuh dari Anshâr dan dua
dari muhâjirîn) yang ada disekitar beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :



مَنْ يَرُدُّهُمْ عَنَّا وَلَهُ الْجَنَّةُ أَوْ هُوَ رَفِيقِي فِي الْجَنَّةِ



Barangsiapa yang mau menghalau mereka dari kita, maka dia akan mendapatkan surga atau menjadi temanku di surga ?



Mendengar ini, tujuh sahabat yang berasal dari Anshâr berusaha
menghalau musuh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun
mereka tidak berhasil. Satu persatu diantara mereka berguguran sebagai
syahîd sampai akhirnya habis. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepada dua shahabatnya yang masih tersisa :



مَا أَنْصَفْنَا أَصْحَابَنَا



Kita tidak berbuat adil kepada para shahabat kita[2]



Maksudnya, dua shahabat yang berasal dari muhâjirîn ini tidak adil
karena tidak melibatkan diri ketika kaum Anshâr itu berjuang membela
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dua orang ini hanya
membiarkan mereka berperang, sampai akhirnya mereka gugur semua.



KISAH-KISAH HEROIK

Tercatat dalam sejarah, beberapa kisah heroik dalam peristiwa perang
Uhud, diantara kisah-kisah itu ada yang sudah dibawakan dalam edisi
sebelumnya dan berikut ini adalah kisah-kisah lainnya :



1. Kisah Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu anhu

Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin terdesak, para
shahabat yang menyadari bahaya yang sedang mengancam Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjuang habis-habisan demi menyelamatkan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tercatat dalam sejarah dengan
tinta emas, perjuangan yang dilakukan Thalhah bin Ubaidillah
Radhiyallahu anhu . Beliau Radhiyallahu anhu bertempur mempertaruhkan
nyawa sampai telapak tangan yang beliau Radhiyallahu anhu pergunakan
untuk membela Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa
difungsikan lagi[3] . Thalhah inilah yang menyangga Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya bisa naik ke bebatuan ketika beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kepung oleh pasukan Quraisy. Lalu
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Thalhah pasti masuk
surge[4] . Dalam riwayat lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :



مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى شَهِيْدٍ يَمْشِي عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ الله



Barangsiapa yang ingin melihat syahîd (orang yang mati syahîd) yang
masih berjalan di muka bumi maka hendaklah dia melihat Thalhah bin
Ubaidillah.”[5]



2. Kisah Sa’d bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu

Shahabat lain yang tidak tertinggal membela Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah Sa’d bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu .
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mensuplay anak
panah untuknya sambil bersabda, “Wahai Sa’d, ibu dan bapakku sebagai
tebusan buatmu, panahilah (orang-orang kafir itu-red) !” Sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikhususkan kepadanya ini
mengobarkan semangat tempur beliau sehingga terus bertempur tanpa
mengenal lelah. Kemampuan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
seorang yang ahli memanah dipergunakan untuk membela dan melindungi
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .



3. Kisah Abu Thalhah al-Anshâri Radhiyallahu anhu

Abu Thalhah al-Anshâri Radhiyallahu anhu termasuk diantara shahabat yang
posisinya dekat dengan Rasûlullâh disaat genting itu. Shahabat mulia
yang nama aslinya adalah Zaid bin Sahl ini Radhiyallahu anhu juga
seorang pemanah yang handal. Oleh karena itu, ketika ada seseorang yang
lewat dengan membawa anah panah dengan wadahnya, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyuruh orang itu untuk menyerahkannya ke Abu
Thalhah. Beliau Radhiyallahu anhu terus berjuang demi menyelamatkan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari bahaya. ketika Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menantang bahaya karena ingin tahu
keadaan musuh, Abu Thalhah Radhiyallahu anhu meminta kepada beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurungkan niat beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam tersebut. Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan : “Demi
bapak dan ibuku, janganlah engkau keluar untuk melihat musuh ! (jika
engkau lakukan itu-red) engkau akan terkena panah musuh. Leherku
(Jiwaku) sebagai tebusan jiwamu.”[6] Dalam sebuah hadits, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Abu Thalhah Radhiyallahu
anhu , “Susngguh suara Abu Thalhah di tengah pasukan itu lebih berat
dari seratus pasukan bagi orang musyrik.”[7]



Meskipun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibela dan
dilindungi mati-matian oleh beberapa shahabat, namun tetap saja beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak luput dari serangan musuh. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menderita luka di wajah, bahkan
menyebabkan gigi seri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam patah. Darah
segar mengalir dari luka itu. Sambil mengusap darahnya, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagaimana mungkin suatu kaum
yang melukai wajah nabi mereka akan beruntung, sementara nabi mereka
menyeru mereka kepada Islam.” Lalu Allâh Azza wa Jalla menurunkan
firmanNya :



لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ



Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allâh
menerima taubat mereka atau mengazdab mereka Karena Sesungguhnya mereka
itu orang-orang yang zalim. [Ali Imrân/3:128]



4. Kisah Abdullah bin Jahsy

Sebelum peperangan berkecamuk, Abdullah bin Jahsy mengatakan,
“Sesungguhnya aku bersumpah untuk bertemu dengan musuh. Jika aku bertemu
mereka, aku berharap mereka agar membunuhku kemudian melubangi perutku
serta memutilasiku. Jika aku bertemu denganMu (ya Allâh) dan Engkau
bertanya kepadaku, “Dalam rangka apa ini ?’ Maka aku akan menjawab,
‘Dalam (ragka membela agama)Mu.’ Ketika dia bertemu dengan para musuh
Allâh Azza wa Jalla di medan tempur, dia terus bertempur melawan
musuh-musuh Allâh itu, sampai akhirnya di akhir peperangan para shahabat
mendapatinya dalam kondisi yang diharapkannya.[8]



5. Amr bin al-Jamûh Radhiyallahu anhu

Amr bin al Jamûh Radhiyallahu anhu termasuk diantara para shahabat yang
memiliki alasan yang dibenarkan syari’at untuk tidak ikut perang, karena
beliau Radhiyallahu anhu pincang. Namun kondisi ini tidak mengurangi
semangatnya untuk tetap iut berperang. Usaha anak-anaknya untuk
menghalanginya pun tidak dipedulikannya. Akhirnya Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam meminta kerelaan anak-anak Amr bin al-Jamûh untuk
membiarkannya ikut berjihad, kalau memang menginginkan mati syahîd. Amr
Radhiyallahu anhu pernah bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , “Bagaimana pendapatmu, jika aku meninggal hari ini, bisakah
aku menginjak surga dengan kakiku yang pincang ini ?” Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” Kemudian Amr Radhiyallahu
anhu mengatakan, “Demi Allâh yang telah mengutusmu dengan al-haq, insya
Allâh, saya benar-benar akan menginjakkan kakiku ini di surga hari ini.”
Kemudian beliau Radhiyallahu anhu terjun ke medan tempur sampai
akhirnya keinginan beliau Radhiyallahu anhu tercapai.[9]



6. Tsâbit bin Waqsy dan al Yamân

Kedua shahabat ini termasuk yang sudah berusia udzur, sehingga mereka
diidzinkan untuk tidak ikut perang dan tinggal bersama kaum wanita dan
anak-anak di Madînah. Namun kerinduan mereka terhadap mati syahîd
membuat mereka enggan tinggal di Madînah. Keduanya menyusul kaum
Muslimin dan terjun di medan tempur. Akhirnya, Tsâbit bin Waqsy gugur
sebagai syahîd di tangan musuh-musuh Allâh Azza wa Jalla , sementara al
Yamân ayahanda Hudzaifah Radhiyallahu anhu mati syahîd, dibunuh pasukan
kaum Muslimin karena mereka mengira beliau Radhiyallahu anhu adalah
musuh. Ketika perang telah usai, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam hendak membayarkan diyat sebagai tebusan atas terbunuhnya al
Yamân, namun putra beliau Radhiyallahu anhu Hudzaifah Radhiyallahu anhu
enggan menerimanya dan menyedekahkannya untuk kepentiangan kaum
Muslimin.[10]



7. Hanzhalah bin ‘Aamir

Beliau adalah pengantin baru. Malam ketika panggilan perang di
komandangkan, beliau Radhiyallahu anhu sedang bersama istri. Beliau
Radhiyallahu anhu bergegas memenuhi panggilan tersebut tanpa sempat
mandi junub terlebih dahulu. Ketika perang berkecamuk, beliau
Radhiyallahu anhu maju berperang sampai akhirnya meninggal. Ketika
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat jenazah beliau
Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh, teman kalian ini sedang dimandikan oleh para malaikat.” Oleh
karena itu, beliau digelari gasîlul malaaikah (orang yang dimandikan
oleh para malaikat) atau al gasîl (orang yang dimandikan)[11].



8. Amr bin Uqaisy Radhiyallahu anhu

Awalnya, beliau Radhiyallahu anhu termasuk orang yang sangat membenci
Islam, sehingga meskipun semua kaumnya dari Bani Ashal sudah memeluk
Islam, beliau Radhiyallahu anhu tetap dalam pendiriannya, tidak mau
memeluk Islam. Ketika perang Uhud berkobar, dia mencari beberapa teman
yang dikenalnya di tempat tinggal mereka, namun tidak dia tidak
berhasil. karena para shahabat yang dicari semuanya ikut perang Uhud.
Beliau Radhiyallahu anhu bergegas kembali ke rumah, mengenakan baju
besinya lalu memacu kudanya ke arah bukit Uhud. Saat kaum Muslimin
melihat kedatangannya, mereka serta merta menghalaunya, “Wahai Amr,
menjauhlah dari kami!” Amr menjawab, “Aku telah beriman.” Beliau
Radhiyallahu anhu terus maju ke medan tempur. Dalam pertempuran tersebut
mengalami luka-luka. Ketika peperangan usai, para shahabat Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengantarkannya ke rumah keluarganya dalam
keadaan tubuh penuh luka. Sa’d bin Mu’adz mendatanginya dan mengatakan
kepada saudarinya :



سَلِيهِ حَمِيَّةً لِقَوْمِكَ أَوْ غَضَبًا لَهُمْ أَمْ غَضَبًا لِلَّهِ فَقَالَ بَلْ غَضَبًا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ



Tolong tanyakan kepadanya, (apakah dia melakukan ini) demi membela
kaumnya, marah karena mereka ataukah marah karena Allâh Azza wa Jalla ?
Amr menjawab, “Marah karena Allâh dan RasulNya.”



Akhirnya karena luka yang teramat parah, beliau Radhiyallahu anhu
meninggal dan masuk surga, padahal beliau Radhiyallahu anhu belum pernah
menunaikan shalat meskipun sekali.[12]



Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah diatas dan semoga
Allah Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita untuk beramal sehingga
menjadi penghuni surga. amien



[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

_______

Footnote

[1]. Dari hadits yang diriwayatkan oleh al-Hâkim 3/201. Beliau
rahimahullah menghukumi hadits ini shahih dan ini disepakati oleh
adz-Dzahaby rahimahullah. al-Haitsami dalam kitab al-Majma’ (6/112)
mengatakan, “Hadits ini juga diriwayatkan ole ath-Thabrâni dalam
al-Ausath dan al-Kabîr. semua orang yang membawakan riwayat ini dalam
kitab al-Ausath adalah orang-orang terpercaya; Dan diriwayatkan oleh
Ibnu Sa’d secara mursal dari az-Zuhri, 2/46, Abu Nu’aim dalam ad-Dalâil
2/482 dengan sanad yang bersambung dari Ibnu Ishaaq

[2]. HR Imam Muslim, no. 1789

[3]. HR Bukhâri, no. 3724

[4]. HR Ibnu Ishâq dengan sanad yang hasan – Ibnu Hisyâm 3/126

[5]. Syaikh al-Albâni dalam Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, “Hadits ini
diriwayatkan oleh al-Ashbahâni dengan sanad shahîh karena memiliki
beberapa riwayat pendukung.”

[6]. HR Bukhâri, al Fathh, 15/235-236, no. 4057

[7]. HR Ahmad, al Fathur Rabbâni, 22/589 dengan sanad (jalur
periwayatan) orang-orang yang terpercaya. Lihat juga al-Wâqidi, 1/243
yang maknanya, “Suara Abu Thalhah di tengah pasukan itu lebih baik
daripada emapat puluh personil pasukan.”

[8]. HR al Hâkim 3/199 dari mursal Sa’îd bin al Musayyib. al Hâkim
mengatakan, “Kalau bukan karena irsal ini, maka hadits ini shahih sesuai
dengan syarat Bukhâri dan Muslim.” Dzahabi mengatakan, “Hadits ini
termasuk mursal yang shahih.”

[9]. Diriwayatkan oleh Ibnul Mubârak, Kitab al Jihâd, hlm. 69 dari
mursal ‘Ikrimah dan diriwayatkanIbnu Ishâq dengan sanad yang terputus,
Ibnu Hisyâm, 3/132. Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan ringkas
dalam Musnad beliau rahimahullah , 5/299 dari jalur periwayatan Ibnu
Ishâq dan orang-orang yang membawakan riwayat ini adalah rijâlus shâhih
(orang yang membawakan riwayat-riwayat shahih) kecuali Yahya bin Nash
al-Anshâri. beliau in termasuk tsiqah (terpercaya) sebagaimana dalam al
Majma’, 9/315. Jadi hadits ini shahih menurut jalur periwayatan Imam
Ahmad

[10]. HR Ibnu Ishâq dengan sanad hasan, Ibnu Hisyâm, 3/128; al–Hâkim
dalam al Mustadrak, 3/202 dan beliau rahimahullah menilai riwayat ini
shahih dan ini disepakati oleh adz- Dzahabi, lihat, al Wâqidi, 1/232

[11]. HR Ibnu Ishâq ssecara mu’allaq- Ibnu Hisyâm, 3/107-108 dan
al-Hâkim membawakan riwayat ini dengan sanad (jalur periwayatan) yang
bersambung tanpa putus. Beliau rahimahullah menilai riwayat ini shahih
dan ini disepakati oleh adz- Dzahabi. Syaikh al-Albâni menilai riwayat
ini hasan sebagaimana dalam Silsilatul Ahâdîtsis Shahîhah, no. 326

[12]. HR Ibnu Ishaaq dengan sanad hasan, Ibnu Hisyaam (3/131). Lihat al
Ishaabah, 2/519 dan diriwayatkan oleh Abu Dâwud, no. 2537; Juga
diriwayatkan oleh al Hâkim dan beliau rahimahullah menyatakan hadits ini
shahih dan penilaian beliau ini dibenarkan oleh adz-Dzahabi. Syaikh
al-Albâni juga menilai hadits ini hasan, dalam shahih sunan Abi Dâud


Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Toko Tensai | Agamweb | Sewa Web Indo
Copyright © 2014. Bangkit Wibisono - All Rights Reserved
Situs Resmi Bangkit Wibisono
Didukung Oleh Morosakato